Kamis, 17 Mei 2012

KELK Software Kaligrafi Arab


Sebenenarnya saya sudah lama tahu program ini, namum saat itu versinya masih rendah. Karena ada permintaan kawan dan suatu wacana tentang kaligrafi Arab akhirnya saya coba lagi mencari-cari program kaligrafi arab ini.
Seperti biasanya, saya sertakan link downloadnya berikut juga dengan BONUS KITAB QOWAIDUL KHAT AL ‘ARABY karya Hashem Mohammed. Tertarik???? ikuti artikel berikut ini:
Pemakaian Program KELK sangat sederhana:
  1. Anda cukup menuliskan kalimat yang akan didisain.
  2. Ubah suaikan bentuk huruf dengan pilihan font.
  3. Ubah suaikan style huruf dengan tombol fitur yang tersedia.
  4. Susunlah sesuai dengan keinginan anda.
  5. lengkapi dengan harakat dan hiasan yang sudah disediakan
Di Bawah ini adalah tampilan editing dengan KELK 2010

Workspace di KELK 2010
Memang diperlukan pengetahuan untuk dapat menyusun tulisan-tulisan Kaligrafi arab agar sesuai dengan kaidah dan keindahan layaknya kaligrafi yang mengandung makna. Begitu pula dengan pemilihan ornamen hiasan.
Oleh karena itu saya juga merasa perlu untuk menyertakan kitab Qawaidul Khat al-Arabiah yang berisi kaedah-kaedah penulisan khat arab.
Qawaidul Khat al-'Arabiyah oleh: Hashem Mohamed
Qawaidul Khat al-'Arabiyah oleh: Hashem Mohamed
Berikut ini link download untuk kedua materi di atas:
  1. KELK 2010 PORTABLE
  2. QAWAIDUL KHAT AL-’ARABIAH
  3. KELK 2010 Full berikut “JAMU”-nya (alternatif patcher link)
Wassalam,
Semoga bermanfaat.
Diposting dari: https://fosilbasyar.wordpress.com/
CARA MEMAAFKAN KESALAHAN ORANG LAIN
Arti maaf
Dari jawaban umum, kita bisa mengartikan memaafkan sebagai mengampuni kesalahan, tidak mendendam, memberi remisi, atau pembebasan .Secara psikologis,memaafkan merupakan proses menurunnya motivasi membalas dendam dan menghindari interaksi dengan orang yang telah menyakiti sehingga cenderung mencegah seseorang berespons destruktif dan mendorongnya bertingkah laku konstruktif dalam hubungan sosialnya (Cullough, Worthington, Rachal, 1997). Dari contoh pertanyaan-pertanyaan di atas terlihat banyak kejadian menyakitkan hati akibat dicaci, dibohongi, ditipu, atau dikhianati orang lain, yang membuat kita sering sulit memberi maaf. Mengapa?

Fiksi
Menurut Janis Spring (1996), ada lima anggapan keliru tentang memaafkan yang mungkin membuat kita berhenti belajar melakukannya.
1. Pemaafan terjadi secara total dan sekaligus.
2. Ketika Anda memaafkan, perasaan negatif terhadap orang lain berganti menjadi perasaan positif.
3. Ketika memaafkan seseorang, Anda mengakui perasaan negatif Anda padanya adalah salah atau tak dapat dibenarkan.
4. Bila Anda memaafkan, Anda tidak akan mendapat imbalan apa pun.
5. Bila Anda memaafkan seseorang, Anda melupakan luka hati Anda.

Dengan memercayai fiksi-fiksi tersebut, maka sepertinya tingkah laku memaafkan jauh untuk bisa kita jangkau dan membuat kita jadi berpikir hanya orang suci atau nabilah yang dapat melakukannya karena harus dilakukan tanpa syarat, secara total,
dan dengan cara mengorbankan diri pribadi.

Fakta
Memaafkan adalah bagian dari proses yang dimulai ketika kita berbagi rasa sakit hati setelah peristiwa menyakitkan berakhir dan akan berkembang begitu kita punya pengalaman mengoreksi diri, yang membangun kembali rasa percaya dan keakraban terhadap orang lain.Untuk memperbaiki dugaan keliru tadi, kita perlu melihat kenyataan yang sesungguhnya terjadi pada kita sebagai manusia biasa agar dapat lebih mudah belajar memaafkan kesalahan.

Fakta 1
Proses memaafkan selalu berlangsung perlahan dan berlanjut sepanjang hubungan kita dengan orang tersebut.
Mungkin saat ini kita hanya dapat memaafkan kesalahan seseorang sebanyak 10 persen, dan begitu kita membina hubungan kembali kita mungkin dapat menambah dengan 70 persen, tetapi tak pernah lebih banyak lagi. Hal di atas sah-sah saja. Kita tak perlu menjadi orang baik bila kita memaafkan secara total, kita juga tak perlu menjadi jahat bila tak bisa melakukannya. Kita hanya dapat memberi apa yang mampu kita berikan dan apa yang orang lain peroleh.

Fakta 2
Beberapa orang mungkin bertahan untuk memaafkan karena melihatnya sebagai ”penghentian permusuhan/dendam”, suatu kondisi di mana kepahitan lenyap digantikan rasa cinta dan kasih Padahal sebenarnya tak ada orang mampu mencapai kondisi seperti itu. Dalam hidup, luka psikis tak pernah sepenuhnya sembuh atau menghilang, ataupun secara ajaib digantikan hal positif lain. Yang benar, seperti halnya cinta yang matang, memaafkan membolehkan adanya pertimbangan serempak antara perasaan yang bertentangan, gabungan dari rasa benci dan cinta. Bila kita memaafkan, kebencian kita tetap ada, tetapi diimbangi dengan kenyataan orang yang menyakiti tidaklah begitu buruk ataupun kita yang telah sangat naif.

Fakta 3
Sebenarnya, dengan memaafkan bukan berarti kita mengingkari kesalahan pelaku atau ketidakadilan yang telah terjadi, tetapi hanya membebaskannya dari ganti rugi (retribusi).

Fakta 4
Beberapa orang tak mau memaafkan karena berpikir, ”Mengapa saya harus membebaskan seseorang dari kewajiban memperbaiki kesalahannya?” Padahal, dengan memaafkan tidak berarti kita lemah atau harus membuat orang lain jadi tidak bertanggung jawab. Bila tujuan kita berekonsiliasi, memaafkan memerlukan penebusan dari pelaku.
Pemaafan yang sesungguhnya tak bisa diberikan sampai pelaku membayarnya melalui pengakuan, penyesalan, dan penebusan.

Fakta 5
Yang benar, bagaimanapun orang yang disakiti tak pernah akan lupa seperti apa kita telah diperdaya atau dikhianati, apakah kita memaafkan atau tidak.

Setelah bertahun-tahun berlalu, kita akan tetap bisa mengingatnya, tetapi hanya sebagai bagian dari suatu gambaran/potret yang juga melibatkan masa-masa kebersamaan lain yang lebih positif dengan pelaku.

3 Kunci Rahasia
Lantas bagaimana caranya agar kita bisa lebih mudah memaafkan orang yang bersalah kepada kita? Apa yang perlu kita ketahui dan lakukan agar terbebas dari rasa tidak nyaman dan tersiksa karena sakit hati? Berikut ada tiga kuncinya.

Pertama
kita perlu memahami bahwa meskipun orang yang berbuat salah kepada kita harus menerima balasan atas perbuatannya, tidak berarti kita yang berhak menghukumnya. Orang yang bersalah memang pantas dihukum, tapi siapa yang melakukannya, dimana dan kapan, itu bukan urusan kita. Lagi pula, orang yang kita benci seringkali tidakmerasa bersalah dan tenang-tenang saja. Sebaliknya kitalah yang terbebani secara emosi. Setiap kali kita teringat orang yang kita benci, perasaan itu kembali muncul seketika. Karena itu kita yang akan rugi sendiri.

Kedua
memberi maaf tidak berarti membebaskan orang yang kita maafkan atas kesalahannya. Juga tidak berarti melepaskan orang yang bersalah dari hukuman formal, jika kesalahannya melanggar hukum positif. Penerimaan hukum formal oleh orang yang melakukan kejahatan tidak otomatis membuka pintu maaf. Buktinya, ada saja orang yang tetap tidak mau memaafkan orang lain meskipun yang bersangkutan sudah menjalani hukuman. Selain itu memberi maaf juga tidak mengubah nilai perbuatan salah menjadi benar. Meskipun kita memaafkan orang lain yang bersalah kepada kita, tidak berarti perbuatannya menjadi benar. memberi maaf berarti menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang berbuat salah kepada kita. Dan ini sebenarnya lebih untuk kebaikan orang yang memberi maaf daripada kebaikan orang yang dimaafkan. Maaf akan membebaskan yang bersangkutan dari beban emosi yang bisa merusak
mental dan tubuhnya.

Ketiga, agar lebih mudah memaafkan orang lain maka serahkan urusan kesalahan orang lain kepada Tuhan. Setiap orang pasti menerima konsekuensi dari tingkah lakunya. Jika baik, maka akan berbalas baik. Dan jika buruk maka balasannya juga buruk.
Tidak peduli apakah suatu keburukan akan dibalas dengan keburukan yang sama, akan dibalas langsung atau tertunda, akan dibalas di dunia atau di akhirat. Yang pasti, setiap keburukan pasti dapat balasan yang setimpal.

Dalam hidup ini Tuhan menciptakan apa yang kita sebut dengan hukum kekekalan energi. Energi tidak bertambah atau berkurang, hanya berubah bentuk. Semua tingkah laku kita merupakan energi, baik positif maupun negatif. Energi yang kita keluarkan pasti sama dengan yang kita terima, meskipun bentuknya bisa berbeda. Karena itu, jika kita menyakiti orang lain, maka energi negatif itu akan kembali kepada kita meskipun dengan bentuk lain.

Karena itu, dengan ketiga kunci tersebut diharapkan kita dapat memulai hari di awal tahun ini dengan bebas dari tekanan dan beban emosi. Dengan begitu,hidup lebih tenang dan juga kita akan terbebas dari penjara mental (ego) menuju kehidupan yang lebih damai dan bahagia.

Dikutip dari: http://dorry.mywapblog.com/
MEMAHAMI INDAHNYA KEGAGALAN

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary : “Sesungguhnya kegagalan terasa menyakitkan, semata karena anda tidak faham sesuatu dari Allah di dalam kegagalan itu.”

Jika anda faham, anda akan melihat adanya kelembutan Ilahi, karena semuanya adalah rahmat dan kemurahan dariNya. Jadi seperti dikatakan juga oleh Ibnu Athaillah, “Siapa yang menyangka terlepasnya kelembutan Ilahi atas takdirnya (yang keras) semata karena piciknya pandangan orang itu.”

Di atas juga disebutkan, “Jika Allah membukakan pintu kefahaman, maka kegagalan adalah hakikat pemberian.” Dan kelak dibelakang akan kita jumpai kata-kata beliau yang indah, “Hendaknya bisa memperingan beban atas derita cobaan pada dirimu, manakala engkau mengetahui bahwa Allahlah yang memberi cobaan itu padamu.”

Jadi bila kita mengenal Allah Maha Kasih, Maha Lembut, Maka Mulia dan Maha Murah, maka segala bentuk keterhalangan kehendak kita, sesungguhnya sama sekali tidak akan merubah pendirian kita akan Sifat-sifat LembutNya dan KasihNya kepada kita.

Karena itu beliau melanjutkan hikmahnya yang agung: “Terkadang Allah membukakan pintu Taat pada Allah bagimu, dan tidak membukakan pintu suksesnya keinginanmu. Bahkan Allah pun menentukan suatu tindakan dosa padamu, dan tindakan itu malah membuatmu sampai ke hadiratNya.”

Taat itu sendiri adalah "anugerah yang luar biasa", bukan sekadar suksesnya keinginan anda. Karena kegagalan atas cita-cita anda sesungguhnya teriringi oleh anugerah Allah dibalik semua itu. Jadi hakikatnya bukan gagal, namun anugerah pemberian.

Pintu-pintu sukses yang sesungguhnya ada tiga, menurut Syeikh Zarruq: Pertama: Taqwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah menerima (memberikan Kabul) dari orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Maidah 27). Setiap amaliyah yang tidak disetrtai ketaqwaan hanyalah kepayahan dan kerja keras tanpa guna. Menjadi berguna manakala seseorang melakukannya dengan penuh sukacita bersama Allah Ta’ala.

Kedua: Ikhlas. Segala sesuatu kalau bukan karena demi Wajah Allah tidak diterima oleh Allah. Hadits Qudsy menegaskan, “Aku Maha tidak butuh pendamping yang lain (syirik). Siapa yang beramal dimana ada unsur lain di dalamnya selain diriKu, maka Aku tinggalkan amal hamba itu dan unsur lain tersebut.”

Ketiga: Rasa yakin mengikuti jejak Sunnah dan Kebenaran. Karena Allah tidak menerima amal hamba yang melakukan amaliyah kecuali dengan sikap benar dan mengikuti kebenaran.

Siapa pun yang melakukan amaliyah dgn tiga kategori di atas, maka dia akan mendapatkan kemudahan atas amaliahnya karena ketiganya sebagai pertanda diterimanya amal. Jika tidak, maka hanya mendapatkan kepayahan dan kelelahan belaka.

Sedangkan orang yang ditakdirkan dosa, menjadi sebab orang tersebut wushul kepada Allah, dimana hidayah justru terbuka pasca tindakan dosa, karena tiga hal pula: Rasa remuk redam atas tindakan dosanya, seperti dalam hadits Qudsi: “ Aku bersama orang yang remuk redam hatinya demi menuju kepadaKu.”

Ditambah dengan taubat orang tersebut, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat.” (Al-Baqarah : 222).
Semangat yang disertai kewaspada-an dalam menempuh keikhlasan, dan penyucian dosa-dosanya.

Dalam hadits disebutkan, “Betapa banyaknya dosa, malah membuat si empunya malah masuk syurga.”

Syeikh Abul Abbas al-Mursi menafsirkan firman Allah swt : “Allah memasukkan malam di dalam siang dan memasukkan siang di dalam malam. “ (Al-Hajj: 61)

Maknanya adalah Allah memasukkan taat dalam maksiat, dan memasukkan maksiat di dalam taat.

Seorang hamba yang penuh taat, lalu dia kagum atas prestasi taatnya, dan merasa dengan taatnya kepada Allah membuatnya hebat, lalu minta ganti rugi pahala dari Allah atas amal ibadahnya. Sikap demikian adalah kebaikan yang dihapus oleh keburukan.

Rasa kagum atas prestasi ibadahnya adalah kejahatan di dalam dirinya. Itulah yang disebut masuknya taat dalam maksiat.

Begitu juga ketika pendosa berbuat dosa, kemudian ia bertobat kembali kepada Allah Ta’ala dengan remuk redam hatinya, merasa hina dan memohon ampunan padaNya, bahkan dia merasa lebih berdosa dari siapa pun jua, karena belum pernah ada dosa yang lebih hebat ketimbang dia. Kesadaran ini berarti maksiat yang masuk dalam taat.

Sufinews.com.
BELAJAR DARI NABI IBRAHIM AS

Tersebut dalam sebuah kisah, ada seorang pemuda datang dan ingin berguru kepada seorang guru tarekat. Setelah mengutarakan maksudnya, sang guru bertanya: “Pernahkah kamu mengalami jatuh cinta pada seorang perempuan?” Pemuda menjawab, “Belum pernah.” Maka sang guru menganjurkan untuk pulang ke kampungnya saja dulu, baru boleh kembali setelah mempunyai pengalaman pernah jatuh cinta pada lawan jenisnya.

Apa relevansi belajar tarekat dan pengalaman jatuh cinta? Karena siapapun yang belum pernah mengalami jatuh cinta dan belum pernah merasakan derita dirundung rindu akan sulit baginya untuk memahami, merasakan dan menangkap kata “cinta” dan “rindu” ketika nanti guru sufi berulang kali mengucapkan dua kata itu. Tentu saja mencintai Allah dan mencintai sesama manusia memiliki perbedaan mendasar. Namun begitu karena yang merasakan cinta adalah hati manusia, maka berbagai kata cinta yang ada dalam Alquran maupun Hadis serta ajaran tarekat yang ditujukan kepada Allah, akan lebih mudah ditangkap dan dihayati dengan membuat analogi dan komparasi dengan pengalaman hidup sehari-hari.

Jadi, salah satu problem yang muncul dalam memahami ungkapan dalam Alquran maupun konsep cinta dalam ajaran tasawuf adalah terletak pada keterbatasan bahasa manusia. Pengalaman jatuh cinta dan penjelasan tentang jatuh cinta adalah dua hal yang berbeda. Ketika pengalaman seorang sufi tentang mabuk cintanya pada Tuhan diterangkan, maka pembicaraannya sudah beralih menjadi filsafat (cinta), karena sebuah pengalaman yang bertumpu pada rasa tidak akan sanggup kata-kata menjelaskan, sebagaimana rasanya gula hanya bisa dicoba dan dirasakan, bukan diuraikan. Dalam konteks inilah maka siapapun yang belajar tasawuf akan sulit memahami ajaran cinta pada Tuhan kalau hatinya belum pernah mengalami getaran dan mabuk cinta, sekalipun pada sesama.

Drama konflik cinta yang mendua (antara cinta pada Tuhan dan cinta pada dunia) diperagakan secara sangat spektakuler oleh Nabi Ibrahim as. ketika diperintah Tuhan untuk menyembelih putranya, Ismail. Di sini logika dan emosi kemanusiaan betul-betul diuji dan dijungkirbalikkan. Bayangkan, sepasang suami istri yang usianya di atas 80 tahun, siang malam berdoa agar memperoleh keturunan. Dan atas kasih sayang Allah, doa itu didengarkan dan dikabulkan Allah, sehingga ketika Hajar hamil dan kemudian melahirkan maka anaknya diberi nama: Ishma-El, atau sami’a-Allah dalam bahasa Arab, yang artinya Allah Maha Mendengarkan doa hamba-Nya. Lewat drama hidup Nabi Ibrahim as. kita diberi pelajaran bagaimana mencintai Allah dengan segala pengorbanannya. Setelah lahir, Allah menguji lagi pada Ibrahim untuk pergi meninggalkan Hajar dan Ismail, keduanya tinggal di padang tandus yang sekarang dikenal sebagai kota Makkah. Kita bisa membayangkan, bagaimana Ibrahim mesti menaklukkan ego mencintai anak lalu memilih pergi ke Kan'an, wilayah Irak (sekarang) semata menuruti perintah Allah. Siang malam Ibrahim teringat Ismail dan Hajar, baik karena rindunya maupun khawatir kesehatannya karena tinggal di daerah tandus. Rupanya Allah mendengarkan rintihan Ibrahim, sehingga setelah berpisah sekitar dua belas tahun, Ibrahim diperintahkan untuk menjumpai Hajar dan Ismail. Lagi-lagi Allah ingin mengajarkan tauhid pada Ibrahim dan semua orang beriman. Belum lama menikmati kebersamaan dengan keluarga yang amat dirindukan, Ibrahim diperintah untuk menyembelih Ismail, putra satu-satunya.

Subhanallah, Allahu Akbar… Hati saya selalu tergetar dan tidak sanggup melukiskan dengan kata-kata setiap mengenang rangkaian ujian iman yang ditimpakan kepada Nabi Ibrahim as. sejak dibakar oleh Raja Namrud sampai diperintah menyembelih anak sendiri. Coba bayangkan, bagaimana alur emosi dan dialog antara seorang ayah, istri dan anak ketika ketiganya memutuskan untuk menyembelih satu-satunya anak yang menjadi ikatan batin suami istri dan simbol kebahagiaan serta kekayaan sebuah keluarga.

Di Indonesia ini, demi membahagiakan dan memanjakan anak seorang ayah mau melakukan korupsi dan tindakan apa saja saking cintanya pada anak. Kalau dia kebetulan seorang pejabat tinggi negara, tidak segan-segan uang negara digasaknya. Jika diposisikan dalam drama Ibrahim, kini justru anak yang hendak disembelih. Anak adalah representasi ego, kekayaan, penerus keluarga, sandaran di hari tua, penghibur orang tua, dan senantiasa menjadi pertimbangan orang tua dalam mengambil Keputusan hidup.

Singkat cerita, ternyata yang diperintahkan Allah untuk disembelih bukannya sosok Ismail, tetapi sosok berhala di hati Ibrahim agar cintanya pada Allah tidak tersaingi dan tidak mendua. Sosok Ismail diganti dengan hewan lalu dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, bukan sebagai sesaji pada Tuhan. Efek dari kecintaan pada Allah maka seorang mukmin akan mencintai semua ciptaan-Nya, mulai dari sesama manusia, hewan, sampai tumbuh-tumbuhan.

Selanjutnya...

Meski cinta merupakan kelengkapan kodrati yang diberikan Allah, namun sesungguhnya di dalam cinta sarat muatan ujian yang dapat menggelincirkan pandangan hati kita dari-Nya. Karena itu dibutuhkan kemampuan berpikir jernih disertai keimanan yang kuat agar ketika cinta datang melanda, pikiran kita tidak tersumbat, kemudian terhanyut ke dalam pusaran yang akhirnya menenggelamkan kita ke dalam lautan kesesatan. Karena sebagaimana dinyatakan dalam hadis: “Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hamba-Nya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah pada dirinya.” (HR. Al Hakim). Berarti cinta yang diridlai Allah adalah cinta yang proporsional secara kemanusiaan sekaligus proporsional secara spiritual. Barangkali kita bisa belajar dari Penyair sufi terkenal, Jalaluddin Rumi, yang mengatakan, untuk memahami kehidupan dan asal usul wujud dirinya, manusia mesti menggunakan jalan cinta. Masih menurut Rumi, cinta juga dikatakan sebagai suatu dorongan luhur yang membawa seseorang mencapai hakikat kehidupan yang baqa’.

Bila demikian, berarti cinta merupakan jalan indah yang ditawarkan Allah, agar kita mengenal diri dengan baik sehingga pada gilirannya membuat kita semakin mengenal-Nya dan semakin mencintai-Nya. Risiko Cinta, konsekuensi dan tanggung jawab dari cinta meliputi kesediaan memberi dan menerima. Menerima hal-hal yang baik dan positif dari pasangan adalah hal yang mudah, tapi menerima sesuatu yang jelek dari pasangan, membutuhkan keikhlasan dan kelapangan hati, dan itulah risiko cinta yang kerap tidak di sadari oleh orang-orang yang tengah dilanda cinta. Karena sebuah hadis menyatakan: “Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Maka jalan yang bisa ditempuh agar kita selamat dalam menjalani percintaan kemanusiaan kita adalah dengan cara meluruskan kesadaran dan keimanan kita sepenuhnya dengan meneladani hadis berikut: “Paling kuat tali hubungan keimanan ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Athabrani).

Maka langkah konkrit pertama yang bisa dilakukan adalah memaknai apapun yang kita miliki dan siapapun yang kita cintai sebagai amanat dari Allah, yang harus kita jaga dan kita pelihara atas dasar kepatuhan dan keimanan kita kepada-Nya. sehingga ketika sesuatu terjadi yang membuat kita kehilangan atau terpisah dari sesuatu yang kita cintai (baca: pasangan, pangkat, jabatan, materi) atau seseorang yang selama ini kita miliki dan kita cintai, kita tidak terhempas dan hancur berkeping-keping.

Lewat shalat yang khusyuk dan doa-doa yang kita sampaikan, lama kelamaan dengan sendirinya akan membuat kita peka dan mampu merasakan balasan cinta dari-Nya. Sehingga memunculkan kesadaran, bahwa dalam sebuah hubungan cinta, kedekatan secara rohaniah lebih tinggi nilainya ketimbang kedekatan secara fisik. Dan manakala kita telah mampu mencapai titik tersebut, maka tak ada lagi yang mengikat hati kita, kecuali keinginan untuk senantiasa meraih ridha-Nya, sebagaimana syair indah karya perempuan sufi terkenal Rabi’ah al-Adawiyah berikut: Tuhanku, tenggelamkan diriku kedalam samudra keikhlasan mencintai-Mu, sehingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku kecuali berzikir kepada-Mu..

Dan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah mengatakan bahwa cinta adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan Cinta menduduki derajat tertinggi. "(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya." (Al-Maidah : 54).

Sesungguhnya masih banyak Arifin billah berbicara tentang cinta, namun pada intinya yang dimaksud cinta menurut mereka adalah cinta semata kepada Allah, tanpa embel-embel cinta kepada apa dan siapa pun jua. (akmaliah.com)

Dikutip dari: http://www.raras9.blogspot.com

Kamis, 03 Mei 2012

Pengetahun Berawal dari Sebuah Pertanyaan, Tetapi Hanya Jawabanlah Pengetahuan Sesungguhnya

Rasa ingin tahu dalam diri manusia, melahirkan sekumpulan pertanyaan dalam hidupnya. "Pengetahuan berawal dari sebuah pertanyaan", demikianlah salah satu pengantar dari filsafat. Bukankah setiap pengetahuan manusia berawal dari rasa penasarannya yang kemudian melahirkan sederet pertanyaan, jawaban-jawaban dari pertanyaan itulah yang menjadi pengetahuan yang merupakan pengalaman manusia.

Thomas Alpa Edison menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam otaknya melahirkan jawaban-jawaban berupa penemuan-penemuan sains yang gemilang, demikian juga sederet "penemu" dan ilmu-an lainnya.

Manusia dengan nalar dan akalnya selalu saja menemukan jawaban tentang benda-benda di sekelilingnya. Tetapi jika itu adalah pertanyaan tentang diri dan keberadaannya. manusia sampai hari ini belum menemukan jawaban yang benar-benar memuaskan. Al-kitab dari agama-agama menjadi solusi dari semua pertanyaan manusia tentang misteri dirinya.

Ibn-Hazm