BELAJAR DARI NABI IBRAHIM AS
Tersebut dalam sebuah kisah, ada seorang pemuda datang
dan ingin berguru kepada seorang guru tarekat. Setelah mengutarakan maksudnya,
sang guru bertanya: “Pernahkah kamu mengalami jatuh cinta pada seorang
perempuan?” Pemuda menjawab, “Belum pernah.” Maka sang guru menganjurkan untuk
pulang ke kampungnya saja dulu, baru boleh kembali setelah mempunyai pengalaman
pernah jatuh cinta pada lawan jenisnya.
Apa relevansi belajar tarekat dan pengalaman jatuh cinta?
Karena siapapun yang belum pernah mengalami jatuh cinta dan belum pernah merasakan
derita dirundung rindu akan sulit baginya untuk memahami, merasakan dan
menangkap kata “cinta” dan “rindu” ketika nanti guru sufi berulang kali
mengucapkan dua kata itu. Tentu saja mencintai Allah dan mencintai sesama
manusia memiliki perbedaan mendasar. Namun begitu karena yang merasakan cinta
adalah hati manusia, maka berbagai kata cinta yang ada dalam Alquran maupun
Hadis serta ajaran tarekat yang ditujukan kepada Allah, akan lebih mudah
ditangkap dan dihayati dengan membuat analogi dan komparasi dengan pengalaman
hidup sehari-hari.
Jadi, salah satu problem yang muncul dalam memahami
ungkapan dalam Alquran maupun konsep cinta dalam ajaran tasawuf adalah terletak
pada keterbatasan bahasa manusia. Pengalaman jatuh cinta dan penjelasan tentang
jatuh cinta adalah dua hal yang berbeda. Ketika pengalaman seorang sufi tentang
mabuk cintanya pada Tuhan diterangkan, maka pembicaraannya sudah beralih
menjadi filsafat (cinta), karena sebuah pengalaman yang bertumpu pada rasa
tidak akan sanggup kata-kata menjelaskan, sebagaimana rasanya gula hanya bisa
dicoba dan dirasakan, bukan diuraikan. Dalam konteks inilah maka siapapun yang
belajar tasawuf akan sulit memahami ajaran cinta pada Tuhan kalau hatinya belum
pernah mengalami getaran dan mabuk cinta, sekalipun pada sesama.
Drama konflik cinta yang mendua (antara cinta pada Tuhan
dan cinta pada dunia) diperagakan secara sangat spektakuler oleh Nabi Ibrahim
as. ketika diperintah Tuhan untuk menyembelih putranya, Ismail. Di sini logika
dan emosi kemanusiaan betul-betul diuji dan dijungkirbalikkan. Bayangkan,
sepasang suami istri yang usianya di atas 80 tahun, siang malam berdoa agar
memperoleh keturunan. Dan atas kasih sayang Allah, doa itu didengarkan dan
dikabulkan Allah, sehingga ketika Hajar hamil dan kemudian melahirkan maka
anaknya diberi nama: Ishma-El, atau sami’a-Allah dalam bahasa Arab, yang
artinya Allah Maha Mendengarkan doa hamba-Nya. Lewat drama hidup Nabi Ibrahim
as. kita diberi pelajaran bagaimana mencintai Allah dengan segala
pengorbanannya. Setelah lahir, Allah menguji lagi pada Ibrahim untuk pergi
meninggalkan Hajar dan Ismail, keduanya tinggal di padang tandus yang sekarang
dikenal sebagai kota Makkah. Kita bisa membayangkan, bagaimana Ibrahim mesti
menaklukkan ego mencintai anak lalu memilih pergi ke Kan'an, wilayah Irak
(sekarang) semata menuruti perintah Allah. Siang malam Ibrahim teringat Ismail
dan Hajar, baik karena rindunya maupun khawatir kesehatannya karena tinggal di
daerah tandus. Rupanya Allah mendengarkan rintihan Ibrahim, sehingga setelah
berpisah sekitar dua belas tahun, Ibrahim diperintahkan untuk menjumpai Hajar
dan Ismail. Lagi-lagi Allah ingin mengajarkan tauhid pada Ibrahim dan semua
orang beriman. Belum lama menikmati kebersamaan dengan keluarga yang amat
dirindukan, Ibrahim diperintah untuk menyembelih Ismail, putra satu-satunya.
Subhanallah, Allahu Akbar… Hati saya selalu tergetar dan
tidak sanggup melukiskan dengan kata-kata setiap mengenang rangkaian ujian iman
yang ditimpakan kepada Nabi Ibrahim as. sejak dibakar oleh Raja Namrud sampai
diperintah menyembelih anak sendiri. Coba bayangkan, bagaimana alur emosi dan
dialog antara seorang ayah, istri dan anak ketika ketiganya memutuskan untuk
menyembelih satu-satunya anak yang menjadi ikatan batin suami istri dan simbol
kebahagiaan serta kekayaan sebuah keluarga.
Di Indonesia ini, demi membahagiakan dan memanjakan anak
seorang ayah mau melakukan korupsi dan tindakan apa saja saking cintanya pada
anak. Kalau dia kebetulan seorang pejabat tinggi negara, tidak segan-segan uang
negara digasaknya. Jika diposisikan dalam drama Ibrahim, kini justru anak yang
hendak disembelih. Anak adalah representasi ego, kekayaan, penerus keluarga,
sandaran di hari tua, penghibur orang tua, dan senantiasa menjadi pertimbangan
orang tua dalam mengambil Keputusan hidup.
Singkat cerita, ternyata yang diperintahkan Allah untuk
disembelih bukannya sosok Ismail, tetapi sosok berhala di hati Ibrahim agar
cintanya pada Allah tidak tersaingi dan tidak mendua. Sosok Ismail diganti
dengan hewan lalu dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, bukan sebagai sesaji
pada Tuhan. Efek dari kecintaan pada Allah maka seorang mukmin akan mencintai
semua ciptaan-Nya, mulai dari sesama manusia, hewan, sampai tumbuh-tumbuhan.
Selanjutnya...
Meski cinta merupakan kelengkapan kodrati yang diberikan
Allah, namun sesungguhnya di dalam cinta sarat muatan ujian yang dapat
menggelincirkan pandangan hati kita dari-Nya. Karena itu dibutuhkan kemampuan
berpikir jernih disertai keimanan yang kuat agar ketika cinta datang melanda,
pikiran kita tidak tersumbat, kemudian terhanyut ke dalam pusaran yang akhirnya
menenggelamkan kita ke dalam lautan kesesatan. Karena sebagaimana dinyatakan
dalam hadis: “Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah
dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah
menempatkan hamba-Nya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan
Allah pada dirinya.” (HR. Al Hakim). Berarti cinta yang diridlai Allah adalah
cinta yang proporsional secara kemanusiaan sekaligus proporsional secara
spiritual. Barangkali kita bisa belajar dari Penyair sufi terkenal, Jalaluddin
Rumi, yang mengatakan, untuk memahami kehidupan dan asal usul wujud dirinya,
manusia mesti menggunakan jalan cinta. Masih menurut Rumi, cinta juga dikatakan
sebagai suatu dorongan luhur yang membawa seseorang mencapai hakikat kehidupan
yang baqa’.
Bila demikian, berarti cinta merupakan jalan indah yang
ditawarkan Allah, agar kita mengenal diri dengan baik sehingga pada gilirannya
membuat kita semakin mengenal-Nya dan semakin mencintai-Nya. Risiko Cinta,
konsekuensi dan tanggung jawab dari cinta meliputi kesediaan memberi dan
menerima. Menerima hal-hal yang baik dan positif dari pasangan adalah hal yang
mudah, tapi menerima sesuatu yang jelek dari pasangan, membutuhkan keikhlasan
dan kelapangan hati, dan itulah risiko cinta yang kerap tidak di sadari oleh
orang-orang yang tengah dilanda cinta. Karena sebuah hadis menyatakan: “Cintamu
kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Maka
jalan yang bisa ditempuh agar kita selamat dalam menjalani percintaan
kemanusiaan kita adalah dengan cara meluruskan kesadaran dan keimanan kita
sepenuhnya dengan meneladani hadis berikut: “Paling kuat tali hubungan keimanan
ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Athabrani).
Maka langkah konkrit pertama yang bisa dilakukan adalah
memaknai apapun yang kita miliki dan siapapun yang kita cintai sebagai amanat
dari Allah, yang harus kita jaga dan kita pelihara atas dasar kepatuhan dan
keimanan kita kepada-Nya. sehingga ketika sesuatu terjadi yang membuat kita
kehilangan atau terpisah dari sesuatu yang kita cintai (baca: pasangan,
pangkat, jabatan, materi) atau seseorang yang selama ini kita miliki dan kita
cintai, kita tidak terhempas dan hancur berkeping-keping.
Lewat shalat yang khusyuk dan doa-doa yang kita
sampaikan, lama kelamaan dengan sendirinya akan membuat kita peka dan mampu
merasakan balasan cinta dari-Nya. Sehingga memunculkan kesadaran, bahwa dalam
sebuah hubungan cinta, kedekatan secara rohaniah lebih tinggi nilainya
ketimbang kedekatan secara fisik. Dan manakala kita telah mampu mencapai titik
tersebut, maka tak ada lagi yang mengikat hati kita, kecuali keinginan untuk
senantiasa meraih ridha-Nya, sebagaimana syair indah karya perempuan sufi
terkenal Rabi’ah al-Adawiyah berikut: Tuhanku, tenggelamkan diriku kedalam
samudra keikhlasan mencintai-Mu, sehingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
kecuali berzikir kepada-Mu..
Dan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali dalam kitab
Al-Mahabbah mengatakan bahwa cinta adalah tujuan puncak dari seluruh maqam
spiritual dan Cinta menduduki derajat tertinggi. "(Allah) mencintai mereka
dan mereka pun mencintai-Nya." (Al-Maidah : 54).
Dikutip dari: http://www.raras9.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar