Kamis, 17 Mei 2012

BELAJAR DARI NABI IBRAHIM AS

Tersebut dalam sebuah kisah, ada seorang pemuda datang dan ingin berguru kepada seorang guru tarekat. Setelah mengutarakan maksudnya, sang guru bertanya: “Pernahkah kamu mengalami jatuh cinta pada seorang perempuan?” Pemuda menjawab, “Belum pernah.” Maka sang guru menganjurkan untuk pulang ke kampungnya saja dulu, baru boleh kembali setelah mempunyai pengalaman pernah jatuh cinta pada lawan jenisnya.

Apa relevansi belajar tarekat dan pengalaman jatuh cinta? Karena siapapun yang belum pernah mengalami jatuh cinta dan belum pernah merasakan derita dirundung rindu akan sulit baginya untuk memahami, merasakan dan menangkap kata “cinta” dan “rindu” ketika nanti guru sufi berulang kali mengucapkan dua kata itu. Tentu saja mencintai Allah dan mencintai sesama manusia memiliki perbedaan mendasar. Namun begitu karena yang merasakan cinta adalah hati manusia, maka berbagai kata cinta yang ada dalam Alquran maupun Hadis serta ajaran tarekat yang ditujukan kepada Allah, akan lebih mudah ditangkap dan dihayati dengan membuat analogi dan komparasi dengan pengalaman hidup sehari-hari.

Jadi, salah satu problem yang muncul dalam memahami ungkapan dalam Alquran maupun konsep cinta dalam ajaran tasawuf adalah terletak pada keterbatasan bahasa manusia. Pengalaman jatuh cinta dan penjelasan tentang jatuh cinta adalah dua hal yang berbeda. Ketika pengalaman seorang sufi tentang mabuk cintanya pada Tuhan diterangkan, maka pembicaraannya sudah beralih menjadi filsafat (cinta), karena sebuah pengalaman yang bertumpu pada rasa tidak akan sanggup kata-kata menjelaskan, sebagaimana rasanya gula hanya bisa dicoba dan dirasakan, bukan diuraikan. Dalam konteks inilah maka siapapun yang belajar tasawuf akan sulit memahami ajaran cinta pada Tuhan kalau hatinya belum pernah mengalami getaran dan mabuk cinta, sekalipun pada sesama.

Drama konflik cinta yang mendua (antara cinta pada Tuhan dan cinta pada dunia) diperagakan secara sangat spektakuler oleh Nabi Ibrahim as. ketika diperintah Tuhan untuk menyembelih putranya, Ismail. Di sini logika dan emosi kemanusiaan betul-betul diuji dan dijungkirbalikkan. Bayangkan, sepasang suami istri yang usianya di atas 80 tahun, siang malam berdoa agar memperoleh keturunan. Dan atas kasih sayang Allah, doa itu didengarkan dan dikabulkan Allah, sehingga ketika Hajar hamil dan kemudian melahirkan maka anaknya diberi nama: Ishma-El, atau sami’a-Allah dalam bahasa Arab, yang artinya Allah Maha Mendengarkan doa hamba-Nya. Lewat drama hidup Nabi Ibrahim as. kita diberi pelajaran bagaimana mencintai Allah dengan segala pengorbanannya. Setelah lahir, Allah menguji lagi pada Ibrahim untuk pergi meninggalkan Hajar dan Ismail, keduanya tinggal di padang tandus yang sekarang dikenal sebagai kota Makkah. Kita bisa membayangkan, bagaimana Ibrahim mesti menaklukkan ego mencintai anak lalu memilih pergi ke Kan'an, wilayah Irak (sekarang) semata menuruti perintah Allah. Siang malam Ibrahim teringat Ismail dan Hajar, baik karena rindunya maupun khawatir kesehatannya karena tinggal di daerah tandus. Rupanya Allah mendengarkan rintihan Ibrahim, sehingga setelah berpisah sekitar dua belas tahun, Ibrahim diperintahkan untuk menjumpai Hajar dan Ismail. Lagi-lagi Allah ingin mengajarkan tauhid pada Ibrahim dan semua orang beriman. Belum lama menikmati kebersamaan dengan keluarga yang amat dirindukan, Ibrahim diperintah untuk menyembelih Ismail, putra satu-satunya.

Subhanallah, Allahu Akbar… Hati saya selalu tergetar dan tidak sanggup melukiskan dengan kata-kata setiap mengenang rangkaian ujian iman yang ditimpakan kepada Nabi Ibrahim as. sejak dibakar oleh Raja Namrud sampai diperintah menyembelih anak sendiri. Coba bayangkan, bagaimana alur emosi dan dialog antara seorang ayah, istri dan anak ketika ketiganya memutuskan untuk menyembelih satu-satunya anak yang menjadi ikatan batin suami istri dan simbol kebahagiaan serta kekayaan sebuah keluarga.

Di Indonesia ini, demi membahagiakan dan memanjakan anak seorang ayah mau melakukan korupsi dan tindakan apa saja saking cintanya pada anak. Kalau dia kebetulan seorang pejabat tinggi negara, tidak segan-segan uang negara digasaknya. Jika diposisikan dalam drama Ibrahim, kini justru anak yang hendak disembelih. Anak adalah representasi ego, kekayaan, penerus keluarga, sandaran di hari tua, penghibur orang tua, dan senantiasa menjadi pertimbangan orang tua dalam mengambil Keputusan hidup.

Singkat cerita, ternyata yang diperintahkan Allah untuk disembelih bukannya sosok Ismail, tetapi sosok berhala di hati Ibrahim agar cintanya pada Allah tidak tersaingi dan tidak mendua. Sosok Ismail diganti dengan hewan lalu dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, bukan sebagai sesaji pada Tuhan. Efek dari kecintaan pada Allah maka seorang mukmin akan mencintai semua ciptaan-Nya, mulai dari sesama manusia, hewan, sampai tumbuh-tumbuhan.

Selanjutnya...

Meski cinta merupakan kelengkapan kodrati yang diberikan Allah, namun sesungguhnya di dalam cinta sarat muatan ujian yang dapat menggelincirkan pandangan hati kita dari-Nya. Karena itu dibutuhkan kemampuan berpikir jernih disertai keimanan yang kuat agar ketika cinta datang melanda, pikiran kita tidak tersumbat, kemudian terhanyut ke dalam pusaran yang akhirnya menenggelamkan kita ke dalam lautan kesesatan. Karena sebagaimana dinyatakan dalam hadis: “Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hamba-Nya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah pada dirinya.” (HR. Al Hakim). Berarti cinta yang diridlai Allah adalah cinta yang proporsional secara kemanusiaan sekaligus proporsional secara spiritual. Barangkali kita bisa belajar dari Penyair sufi terkenal, Jalaluddin Rumi, yang mengatakan, untuk memahami kehidupan dan asal usul wujud dirinya, manusia mesti menggunakan jalan cinta. Masih menurut Rumi, cinta juga dikatakan sebagai suatu dorongan luhur yang membawa seseorang mencapai hakikat kehidupan yang baqa’.

Bila demikian, berarti cinta merupakan jalan indah yang ditawarkan Allah, agar kita mengenal diri dengan baik sehingga pada gilirannya membuat kita semakin mengenal-Nya dan semakin mencintai-Nya. Risiko Cinta, konsekuensi dan tanggung jawab dari cinta meliputi kesediaan memberi dan menerima. Menerima hal-hal yang baik dan positif dari pasangan adalah hal yang mudah, tapi menerima sesuatu yang jelek dari pasangan, membutuhkan keikhlasan dan kelapangan hati, dan itulah risiko cinta yang kerap tidak di sadari oleh orang-orang yang tengah dilanda cinta. Karena sebuah hadis menyatakan: “Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Maka jalan yang bisa ditempuh agar kita selamat dalam menjalani percintaan kemanusiaan kita adalah dengan cara meluruskan kesadaran dan keimanan kita sepenuhnya dengan meneladani hadis berikut: “Paling kuat tali hubungan keimanan ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Athabrani).

Maka langkah konkrit pertama yang bisa dilakukan adalah memaknai apapun yang kita miliki dan siapapun yang kita cintai sebagai amanat dari Allah, yang harus kita jaga dan kita pelihara atas dasar kepatuhan dan keimanan kita kepada-Nya. sehingga ketika sesuatu terjadi yang membuat kita kehilangan atau terpisah dari sesuatu yang kita cintai (baca: pasangan, pangkat, jabatan, materi) atau seseorang yang selama ini kita miliki dan kita cintai, kita tidak terhempas dan hancur berkeping-keping.

Lewat shalat yang khusyuk dan doa-doa yang kita sampaikan, lama kelamaan dengan sendirinya akan membuat kita peka dan mampu merasakan balasan cinta dari-Nya. Sehingga memunculkan kesadaran, bahwa dalam sebuah hubungan cinta, kedekatan secara rohaniah lebih tinggi nilainya ketimbang kedekatan secara fisik. Dan manakala kita telah mampu mencapai titik tersebut, maka tak ada lagi yang mengikat hati kita, kecuali keinginan untuk senantiasa meraih ridha-Nya, sebagaimana syair indah karya perempuan sufi terkenal Rabi’ah al-Adawiyah berikut: Tuhanku, tenggelamkan diriku kedalam samudra keikhlasan mencintai-Mu, sehingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku kecuali berzikir kepada-Mu..

Dan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah mengatakan bahwa cinta adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan Cinta menduduki derajat tertinggi. "(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya." (Al-Maidah : 54).

Sesungguhnya masih banyak Arifin billah berbicara tentang cinta, namun pada intinya yang dimaksud cinta menurut mereka adalah cinta semata kepada Allah, tanpa embel-embel cinta kepada apa dan siapa pun jua. (akmaliah.com)

Dikutip dari: http://www.raras9.blogspot.com

Tidak ada komentar: