MEMAHAMI INDAHNYA KEGAGALAN
Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary : “Sesungguhnya
kegagalan terasa menyakitkan, semata karena anda tidak faham sesuatu dari Allah
di dalam kegagalan itu.”
Jika anda faham, anda akan melihat adanya kelembutan
Ilahi, karena semuanya adalah rahmat dan kemurahan dariNya. Jadi seperti
dikatakan juga oleh Ibnu Athaillah, “Siapa yang menyangka terlepasnya
kelembutan Ilahi atas takdirnya (yang keras) semata karena piciknya pandangan
orang itu.”
Di atas juga disebutkan, “Jika Allah membukakan pintu
kefahaman, maka kegagalan adalah hakikat pemberian.” Dan kelak dibelakang akan
kita jumpai kata-kata beliau yang indah, “Hendaknya bisa memperingan beban atas
derita cobaan pada dirimu, manakala engkau mengetahui bahwa Allahlah yang
memberi cobaan itu padamu.”
Jadi bila kita mengenal Allah Maha Kasih, Maha Lembut,
Maka Mulia dan Maha Murah, maka segala bentuk keterhalangan kehendak kita,
sesungguhnya sama sekali tidak akan merubah pendirian kita akan Sifat-sifat
LembutNya dan KasihNya kepada kita.
Karena itu beliau melanjutkan hikmahnya yang agung: “Terkadang
Allah membukakan pintu Taat pada Allah bagimu, dan tidak membukakan pintu
suksesnya keinginanmu. Bahkan Allah pun menentukan suatu tindakan dosa padamu,
dan tindakan itu malah membuatmu sampai ke hadiratNya.”
Taat itu sendiri adalah "anugerah yang luar
biasa", bukan sekadar suksesnya keinginan anda. Karena kegagalan atas
cita-cita anda sesungguhnya teriringi oleh anugerah Allah dibalik semua itu.
Jadi hakikatnya bukan gagal, namun anugerah pemberian.
Pintu-pintu sukses yang sesungguhnya ada tiga, menurut
Syeikh Zarruq: Pertama: Taqwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah menerima (memberikan Kabul) dari orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Maidah
27). Setiap amaliyah yang tidak disetrtai ketaqwaan hanyalah kepayahan dan
kerja keras tanpa guna. Menjadi berguna manakala seseorang melakukannya dengan
penuh sukacita bersama Allah Ta’ala.
Kedua: Ikhlas. Segala sesuatu kalau bukan karena demi
Wajah Allah tidak diterima oleh Allah. Hadits Qudsy menegaskan, “Aku Maha tidak
butuh pendamping yang lain (syirik). Siapa yang beramal dimana ada unsur lain
di dalamnya selain diriKu, maka Aku tinggalkan amal hamba itu dan unsur lain
tersebut.”
Ketiga: Rasa yakin mengikuti jejak Sunnah dan Kebenaran.
Karena Allah tidak menerima amal hamba yang melakukan amaliyah kecuali dengan
sikap benar dan mengikuti kebenaran.
Siapa pun yang melakukan amaliyah dgn tiga kategori di
atas, maka dia akan mendapatkan kemudahan atas amaliahnya karena ketiganya
sebagai pertanda diterimanya amal. Jika tidak, maka hanya mendapatkan kepayahan
dan kelelahan belaka.
Sedangkan orang yang ditakdirkan dosa, menjadi sebab
orang tersebut wushul kepada Allah, dimana hidayah justru terbuka pasca
tindakan dosa, karena tiga hal pula: Rasa remuk redam atas tindakan dosanya,
seperti dalam hadits Qudsi: “ Aku bersama orang yang remuk redam hatinya demi
menuju kepadaKu.”
Ditambah dengan taubat orang tersebut, “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang taubat.” (Al-Baqarah : 222).
Semangat yang disertai kewaspada-an dalam menempuh
keikhlasan, dan penyucian dosa-dosanya.
Dalam hadits disebutkan, “Betapa banyaknya dosa, malah
membuat si empunya malah masuk syurga.”
Syeikh Abul Abbas al-Mursi menafsirkan firman Allah swt :
“Allah memasukkan malam di dalam siang dan memasukkan siang di dalam malam. “
(Al-Hajj: 61)
Maknanya adalah Allah memasukkan taat dalam maksiat, dan
memasukkan maksiat di dalam taat.
Seorang hamba yang penuh taat, lalu dia kagum atas
prestasi taatnya, dan merasa dengan taatnya kepada Allah membuatnya hebat, lalu
minta ganti rugi pahala dari Allah atas amal ibadahnya. Sikap demikian adalah
kebaikan yang dihapus oleh keburukan.
Rasa kagum atas prestasi ibadahnya adalah kejahatan di
dalam dirinya. Itulah yang disebut masuknya taat dalam maksiat.
Begitu juga ketika pendosa berbuat dosa, kemudian ia
bertobat kembali kepada Allah Ta’ala dengan remuk redam hatinya, merasa hina
dan memohon ampunan padaNya, bahkan dia merasa lebih berdosa dari siapa pun
jua, karena belum pernah ada dosa yang lebih hebat ketimbang dia. Kesadaran ini
berarti maksiat yang masuk dalam taat.
Sufinews.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar